Oleh : Habib Rais
Kata Reinkarnasi, adalah kata yang sangat sakral dan penting dalam
kehidupan manusia, tanpa reinkarnasi, maka seorang manusia tidak akan
mencapai nilai sebagaimana yang dimintakan oleh Allâh SWT, agar
dengannya ia dapat kembali kepada Tuhannya, pengertian mana, ia harus
dapat mengenal Tuhannya sebagaimana ia mengenal dirinya sendiri.
Untuk memahami kata “Reinkarnasi”, terlebih dahulu kita harus
membaginya dalam empat sub kata ; 1). RE, dalam bahasa Inggris, artinya
kembali atau pengulangan, 2). IN, juga dalam bahasa Inggris, artinya
“masuk atau kedalam”, 3). KAR (peta/map), adalah bentuk. 4).NASI, dalam
bahasa Arab, artinya manusia, sehingga kata RE – IN - KAR – NASI,
memiliki arti : KEMBALI KEDALAM BENTUK MANUSIA.
Kata Reinkarnasi, bukan berarti kembalinya suatu makhluk kedalam bentuk
makhluk yang lain (dari manusia menjadi hewan), tapi semata-mata
kembalinya bentuk suatu makhluk dari martabat yang rendah menjadi
bentuk manusia (martabat yang mulia). Atau dari manusia kepada manusia
lagi, karena rupa/bentuk manusia, telah menjadi tujuan utama pencapaian
dari seluruh makhluk-Nya di alam semesta ini.
Kandungan utama dari maksud dan tujuan kedatangan semua kitab suci ke
dunia ini, hanya semata untuk mencapai Reinkarnasi. Tuhan ingin di
kenal secara nalar dan bijak, dan hal ini bisa dan hanya terjadi di
dalam diri seorang manusia yang telah mencapai pencerahan utama.
Jangankan hewan atau makhluk selain manusia, dianggap dapat memahami
ketuhanan, walaupun seorang manusia, sepanjang belum mencapai
pencerahan, tidak akan dapat mengenal Tuhannya. Kendati Ulama, Kiyai,
Pendeta, Pastor bahkan sebagian ulama sufi maupun sebagian syaikh
tarikat yang telah disapa dengan panggilan Mursyidpun, tidak dengan
mudah dapat menerima konsep Reinkarnasi yang saya jelaskan ini, padahal
mereka telah di pandang baik agamanya oleh sebagian golongan dalam
dakwah mereka. ternyata kebanyakan mereka hanya berbicara dari sisi
umumnya agama yaitu pahala serta dosa. mereka berbicara hanya sebatas
retorika dan teori tanpa bukti yang nyata, kecuali para Guru Mursyid
yang telah sempurna ilmu dan keilmuannya, mereka dapat berbicara bahkan
mempratekkan ilmu Reinkarnasi tersebut dengan baik dan tepat.
Jika seorang dalam agama Islam, telah dapat menerima pemahaman konsep
Reinkarnasi, berarti ia telah terserap masuk kedalam jalan menuju
kesempurnaan, dan keadaan ini merupakan ketertarikan yang luar biasa.
Berbeda halnya dengan seseorang yang beragama Hindu atau Budha atau
golongan agama lain yang menerima pemahaman konsep Reinkarnasi, mereka
sejak kecil telah menjadikan hal tersebut sebagai suatu kewajiban dalam
pemahaman keberagamaannya, sebagaimana juga seorang yang beragama
Islam, dalam pemahaman dan mengucapkan dua kalimat syahadat, adalah hal
yang lumrah, lain halnya dengan seseorang yang bukan beragama Islam,
jika ia memahami tentang dua kalimat syahadat dan rela mengucapkannya
dengan kesadaran yang hakiki, itu berarti suatu keluarbiasaan dalam
kehidupannya. Begitulah seorang yang beragama Islam, jika ia dapat
memandang konsep Reinkarnasi dengan akal yang fithra.
Golongan agama Islam (baca; Cendikiawan), melihat agama Islam dan
Al-Qur’an secara keseluruhan tidak mengandung konsep Reinkarnasi,
bahkan kata mereka; Al-Qur’an menolaknya. Andaikan Al-Qur’an itu dibaca
serta dikaji dengan bahasa yang manusiawi dan bijak (bijaksana dan
bijaksini), dan tidak semata bahasa hukum sebagaimana yang telah
diterapkan selama ini, maka akan didapati, bahwa kandungan Al-Qur’an
telah menerangkan konsep tentang Reinkarnasi 99%. Konsep tersebut
sangat berbeda dengan konsep Reinkarnasi yang ada pada agama lain.
Teori agama mereka adalah, seseorang akan terus berinkarnasi (terlahir
kembali menjadi manusia) untuk menerima berbagai pembalasan atas amal
baik buruknya (karma) yang telah ia lakukan pada kehidupan sebelumnya.,
dan keadaan reinkarnasi itu dipandang sebagai suatu dosa yang belum
terlunasi.
Pada Al-Qur’an, serta pandangan para Guru Mursyid yang telah sempurna
ilmu dan keilmuannya, konsep Reinkarnasi adalah menjadi tujuan utama
dalam kehidupan seorang manusia, disamping manusia itu menerima
karmanya atau pembalasan atas perbuatan baik buruknya di dalam
kehidupan sebagai manusia sekarang ini, yang perbuatan mana telah ia
lakukan dalam kehidupan sebelumnya, ia harus dapat mencapai bentuk
kesadaran yang lebih tinggi, sehingga dirinya akan mengenal dirinya
sendiri dalam kapasitas keilahian yang sempurna. Dimana setiap diri
manusia memiliki kesempurnaan yang hakiki, serta memiliki seluruh
perangkat lunak (software) yang sanggup untuk melakukan apa saja. Walau
demkian, seorang manusia belum dapat melakukan tindakan apapun untuk
mencapai nilai kesempurnaan, kecuali terlebih dahulu ia harus memahami
susunan anggota tubuhnya secara keseluruhan, sebagai perangkat kerasnya
(hardware), karena dengan perkakas yang memadai saja, maka programnya
dapat dioperasionalkan dengan sempurna, disamping perlunya seorang
operator yang handal (pikiran dan akal yang fithrah), barulah komputer
kemanusiaan ini dapat mencapai pekerjaan yang maksimal.
Jangan engkau mencari sesuatu diluar tubuhmu sepanjang berkaitan dengan
keilahian, biarkan orang lain yang tidak memahami mencarinya
dimana-mana, tapi bagimu yang memahami, carilah IA di dalam dirimu
saja. Karena hanya orang-orang yang bijak dalam pemahaman konsep
Reinkarnasi sajalah yang dapat memikirkan hal ini.
Kata Allâh : Tiada yang dapat memikirannya, kecuali Ulil albab, . yang
dimaksud dengan kata “Ulil albâb”, adalah para Guru Mursyid yang telah
sempurna ilmu dan keilmuannya, karena mereka dapat memikirkan Tuhan
melalui diri mereka sendiri, dan menemukan-Nya dengan sempurna di
dalam, sementara kebanyakan manusia sedang pergi dari diri mereka
sendiri menuju kekosongan pendapatan, karena mereka sedang melihat
Tuhan berada sangat jauh dari diri mereka, hal inilah yang membuat
mereka tersesat dalam berpendapat dan pendirian.
Islam dan Reinklarnasi, adalah satu maksud dalam dua kata. Islam,
berarti “Selamat”, atau “Keselamatan”, atau “Kenyamanan” atau
“Kedamaian”. Reinkarnasi, adalah “kata kerja” dari Islam itu sendiri.
Karena tiada keselamatan dapat dicapai tanpa kembali menjadi seorang
manusia, sebab dari diri seorang manusia itulah dimulainya pencapaian
jalan keselamatan.
Sorga dan Naraka, maupun Akhirat, masih dilihat sebagai sesuatu yang
belum ada, lebih di karenakan sudut pandang ilmu dan keilmuannya yang
tidak berada pada tempat yang benar. Jika dapat menempatkan sesuatu
yang hakiki pada tempat yang hakiki, dan yang tidak hakiki pada tempat
yang tidak hakiki, maka akan menemukan kebenaran sejati yang maujud
dalam keadaan nyata (terang benderang).
Kebanyakan orang telah menempatkan sesuatu pada tempat yang bukan
tempatnya, kemudian ia pandang sebagai kebenaran yang hakiki. Bahkan
saat sang bijak menyampaikan kebenaran, ia akan dicaci sebagaqi orang
yang sesat dan menyesatkan.
Allâh mengatakan : Mereka menginginkan kebenaran. Saat engkau
(Muhammad) membawa kebenaran kepada mereka, mereka menolak kebenaran
tersebut.
Mengapa demikian, disebabkan karena mereka telah menempatkan yang tidak
hakiki (tidak sejati) pada tempat yang hakiki dan sejati. Inilah ciri
kebanyakan manusia sekarang dari seluruh golongan agama manupun juga,
kecuai mereka yang telah tercerahkan oleh keilmuan para Guru yang
Mursyid.
Hindu dan Budha atau agama lain yang juga menerapkan konsep
Reinkarnasi, belum tentu mendapat keselamatan dalam perjalanan
kehidupannya sebagaimana teori dimaksud, sepanjang Reinkarnas itu
dipandang sebagai suatu bentuk kerendahan dari suatu kelahiran atau
pencapaian, kemudian mereka berusaha sedemikian rupa untuk tidak
ber-inkarnasi (tidak terlahir kembali).
Andaikata tidak harus terlahir lagi sebagai anak manusia, lalu
kemanakah kita harus pergi setelah kematian? apakah kedalam
ketidaktahuan pendapat, atau kesuatu tempat yang tidak tersebut dan
tidak dikenal sama sekali ?. ini adalah faham dan pemahaman yang salah
dalam konsep Reinkarnasi.
Tuhan itu hanya dapat di kenal lewat manusia, Tuhan itu hanya dapat
berkarya dan di ketahui karyanya hanya oleh manusia, segala tindak
tanduk Tuhan hanya datang melalui manusia, sehingga jika sebagai
seorang manusia, kemudian bercita-cita mencari ilmu dan keilmuan agar
tidak terlahir kembali sebagai seorang manusia, maka sesungguhnya ia
telah berbuat kejahatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus telah
memotong jalur manifestasi Tuhan untuk dirinya sendiri maupun manusia
sekalian.
Semua kitab suci telah mengisyaratkan maksud yang sama seperti yang tertulis pada Al-Qur’annya orang Islam, bahwa :
Kami (Tuhan) dekat kepada manusia, lebih dekat daripada urat lehenya sendiri.
Ingatlah Tuhanmu itu di dalam dirimu sendiri.
Dia (Tuhan) bersama kamu di mana saja kamu berada.
Ini semua memberi artian bahwa ; Dia (Tuhan) itu ada pada diri manusia,
seluruh pengejawantahan-Nya hanya dapat dilakukan melalui diri manusia.
Kalaulah seseorang mati dan tidak kembali lagi menjadi manusia, maka
dimanakah ia akan berjumpa dengan Tuhan itu ? .
Tuhan sendiri mengatakan bahwa ; Semua tindakan-Nya ada pada manusia.
Itu berarti Sorga, Naraka, Akhirat maupun apa saja harus dapat di
mengerti, di pahami dan di ketahui dan di buktikan hanya dengan melalui
diri manusia semata, dan jika tidak melalui diri seorang manusia, maka
jangan ada yang bermimpi untuk berjumpa dengan Tuhannya, kecuali dengan
Tuhan yang dia ciptakan sendiri dalam kebodohan hayalannya.
Reinkarnasi dalam Islam, lebih dipahami oleh kalangan yang mempelajari
Islam secara Hakikat dan Ma’rifatullâh dengan jalur yang sempurna.
Reinkarnasi tidak hanya dipahami sebagai suatu kejadian sederhana dari
kelahiran seorang anak manusia, yang di dalam jiwanya adalah seseorang
yang tadinya telah hidup sebelumnya.
Contoh di daerah Indonesia bagian Timur (baca; Maluku) : Ada seorang
anak kecil yang di panggil dengan panggilan “tete” (Kakek), karena
keluarga dari anak tersebut meyakini bahwa, anak mereka itu adalah
Reinkarnasi atau titisan dari kakek mereka, karena anak tersebut lahir
dengan ciri-ciri yang sama dengan kakek mereka. Hal semacam ini belum
termasuk dalam pandangan konsep Reinkarnasi yang dipahami dan diajarkan
oleh para Guru Mursyid yang sempurna, kecuali seorang anak itu telah
dengan sengaja dilahirkan atas nama seseorang yang dimaksud, dengan
membawa berbagai tanda-tanda kelahiran yang sesuai dengan tanda-tanda
yang ada pada orang yang akan direinkarnasikan, dan sebelum
kelahirannya, telah di kabarkan lebih dahulu tentang tanda-tanda
tersebut oleh ahli yang me-reinkarnasi-kan orang yang dimaksud itu. Ini
disebut bentuk Reinkarnasi tingkat I.
Reinkarnasi tingkat II, adalah seseorang yang mengetahui hari
kematiannya, dan kemudian ia berpesan kepada sanak keluarganya bahwa ;
“Bapak akan pergi jauh (wafat), kalian tidak perlu bersedih dan berduka
cita, nanti setelah kematian bapak, bapak akan datang kembali kedunia
ini dan berjumpa dengan kalian, yaitu dengan cara lahir kembali sebagai
anak si fulan, perhatikan saja tanda-tanda yang akan bapak tentukan
sesaat menjelang kematian bapak”.
Maka setelah kematian bapaknya, dan suatu saat setelah kelahiran anak
yang dimaksud pada orang yang di tunjuk sebelumnya, maka akan didapati
oleh mereka tanda-tanda yang tepat sebagaimana yang ditandakan oleh
bapaknya yang mati itu. Ini disebut ahli mereinkarnasikan dirinya
sendiri.
Jika kita tidak memiliki ilmu dan keilmuan Reinkarnasi, maka kita harus
menjadi seseorang yang sangat dekat dengan para ahli Reinkarnasi (Guru
yang Mursyid), karena bila seseorang setelah wafat, dan tidak dapat
terlahir kembali sebagai manusia, maka itu pertanda dia tidak selamat
sampai ke akhirat. Tentunya ia akan menjadi suatu makhluk yang lebih
rendah dari manusia !
Kata Allâh : Kami (Allah) ciptakan manusia dalam rupa yang sangat
sempurna, kemudian Kami (Tuhan) rendahkan dia serendah-rendahnya.
Analogi :
Semestinya orang yang pergi merantau jauh kenegeri asing, harus telah
menyediakan pembiayaan/persiapan untuk dapat kembali ke kampung halaman
yang damai. Hal tersebut harus dilakukan sebagai orang yang bijaksana,
dan juga sebagai antisipasi jika negeri perantauannya tidak sesuai
dengan apa yang di harapkan sebagaimana yang di dengar selagi di
kampung halamannya.
Andaikan seorang tua yang pergi merantau keluar negeri, ternyata
keadaan di sana sangat asing baginya, bahkan menyulitkannya, kemudian
dia ingin kembali ke tanah kelahirannya yang damai sentosa, yang selama
ini dia hidup beranak pinak. Kalaulah orang tua tersebut sebelum
perantauannya telah mempersiapkan tiket untuk kembali, maka pasti
dengan mudahnya dia bisa kembali ketanah tumpah darahnya, tanpa harus
menanti kiriman tiket dari anaknya yang selama ini tidak peduli
denganya. Tapi ternyata sebaliknya, ia mengalami berbagai penderitaan
dinegeri perantauannya. Ini gambaran orang tua yang tidak memiliki ilmu
keselamatan (Ilmu Reinkarnasi) serta anak turunan yang juga tidak
berilmu keselamatan , yang akhirnya menjadi anak durhaka, karena
membiarkan orang tuanya dalam hukuman Allâh.
Islam telah menggariskan, bahwa setelah kematian seorang manusia,
seluruh amalan kebaikannya terputus, kecuali 3 (tiga) perkara. :
1)- Amal Jâriyah,
2)- Ilmu yang berguna,
3)- Anak yang shaleh, untuk mendoakan kedua orang tuanya.
1)- Amal Jâriyah, secara mendasar dan harfiah, berarti Perbuatan yang
berjalan, yaitu perbuatan dari seseorang yang telah mati/wafat, yang
perbuatan mana dapat berjalan. Tidak lain dan tidak bukan adalah
seorang anak manusia. Kata ini telah diartikan oleh para ulama umum
sebagai suatu perbuatan baik dan berguna bagi manusia lain setelah
kematian si pembuat amal itu. Misalnya membangun Masjid, jembatan,
sumur dan lainnya, kemudian pahalanya akan mengalir terus kepada si
pengamal itu.
Dalam pengertian khusus, ‘Amal Jâriyah bukanlah perbuatan seperti
membangun masjid, jembatan, sumur, dan lainnya, walaupun semua itu
adalah kebaikan dan dibutuhkan oleh manusia, namun yang dimaksud
sesungguhnya dengan kata “Amal Jariyah” itu sendiri, adalah perbuatan
yang berjalan dari seorang bapak/ibu yang telah wafat, yaitu “anak”.
Dimana anak itu sebagai suatu perbuatan orangtuanya yang ditinggalkan
setelah kematiannya, dan yang sekarang “berjalan kesana kemari”.
2)- Ilmu yang berguna, adalah ilmu yang diperuntukkan bagi anak yang
ditinggalkan oleh orang tuanya, yaitu “ilmu tentang kelahiran dan
kematian”, karena inilah ilmu yang berguna atas anak tersebut, karena
ilmu tersebut akan menjadi jalan yang lurus bagi kelahiran kembali
orang tuanya yang telah wafat .
Hadits Nabi : Tuntutlah ilmu dari buaian sampai keliang lahat. Hal ini
bukannya Nabi menyuruh anak yang baru lahir dan mayat yang tidak
berdaya di liang lahat untuk menuntut ilmu, tapi maksud hadits tersebut
adalah “Tuntutlah ilmu kelahiran dan ilmu kematian”, (Ilmu
reinkarnasi). Para ulama umum, telah mengartikannya lain sama sekali
dari penjelasan yang seharusnya.
3)- Waladun shaleh (anak yang shaleh), untuk mendoakan kedua orang
tuanya, maksudnya bukan seperti yang selama ini telah diartikan oleh
kebanyakan pembicara dimimbar-mimbar, melainkan gabungan dari poin 1
dan 2. Maksud yang sebenarnya dari ketiga perkara ini, semata-mata
adalah “Seorang anak manusia”, karena hanya dengan “anak” maka
seseorang dapat melanjutkan cita-cita dengan sempurna, lantaran anak
adalah satu-satunya jalan kembali untuk mengambil hakmu pada Allâh SWT
(Tuhan semesta alam).
Injil Markus :
Barang siapa tidak menghormati anak, maka dia tidak di hormati oleh bapak yang di Sorga.
Pada surat yang lainnya :
Barang siapa memuliakan anak, maka ia akan dimuliakan oleh bapak yang di Sorga, karena anak tela di tinggikan.
Walaupun sudah sangat jelas apa yang disinggung pada Injil Perjanjian
baru diatas, tetap saja orang-orang Kristenpun tidak mengenal Jalan
Keselamatan yang unggul ini.
Anak, adalah “amal jâriyah” itu, ilmu yang berguna, adalah untuk “anak”
itu, sehingga ia menjadi yang ke waladun shaleh ; (Waladun, berarti
Seorang anak laki-laki. Shaleh, berarti Hubungan, Terhubung dan
Menghubungkan).
Begitu spesifik penjelasan tentang keilmuan tersebut, yaitu keilmuan
Renkanasi yang sempurna. Keilmuan Reinkarnasi dikenal oleh para pakar
Islam dengan istilah “Ilmu Martabat Tiga”, yaitu 1)- Ilmu Takbiratul
Ihram (Ilmu Shalat), 2)- Ilmu Nisâi (Ilmu Perkawinan/ membuat anak),
dan 3)- Ilmu Sakratul Maut (Ilmu menghadapi kematian).
Masing-masing keilmuan tersebutr, memiliki 13 (tiga belas) martabat
yang sangat mengagumkan akal, pikiran dan pendapatan. Maka dengan
memiliki ilmu tentang 3 (tiga) perkara di atas oleh seseorang yang akan
wafat, berarti dia telah meletakkan kembali jalan keselamatan untuk
kembali menjadi manusia.
Sebagaimana analogi diatas, andaikan sang perantau meninggalkan harta
yang banyak kepada anak yang baik hati, maka saat orang tuanya sedang
di tempat perantauan dan kehabisan uangnya untuk membeli tiket kembali,
maka anaknya dapat mengirim tiket kembali kepada orang tuanya untuk
kembali ke kampong halaman dan berkumpul kembali bersama keluarga
seperti semula.
Hal inilah yang dimaksud dengan ilmu yang berguna kepada anak. Anak
shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya, bukanya seorang anak yang di
tinggal mati kedua orang tuanya, kemudian setiap malam bergumam
sendirian dalam ucapan-ucapan doa dengan harapan orang tuanya akan
selamat, tapi arti dari kata Du’a (Doa) adalah “mendatangkan”. Sehingga
arti dari “Anak yang shaleh, yang mendoakan kedua orang tuanya”, adalah
“Anak yang membuat hubungan (jembatan) antara alam arwah kealam ajsam
(alam jasmani), agar dengan demikian nafs (jiwa) orang tuanya yang
telah wafat, dapat di panggil hidup kembali dan terlahir sebagai
seorang anak manusia (berinkarnasi)”, karena hanya dengan jalan itu
sajalah, maka seorang anak dapat membalas budi baik kepada kedua orang
tuanya.
Kenapa demikian ?, Seorang anak, sebelumnya tidak tersebut sebagai
apapun saat sebelum ia dijadikan dan kemudian terlahir sebagai seorang
anak. Sebagai anak yang sekarang hidup tanpa dimintainya itu, harusnya
ia bersukur sebanyak-banyaknya, karena perbuatan baik kedua orang
tuanya, menyebabkan anak itu ada dan hidup di dunia sekarang ini.
Andaikata kebaikan kedua orang tuanya akan di balas dalam bentuk
apapun, maka tidak akan ada bandingannya, kecuali seorang anak dengan
keilmuan Renkarnasi yang sempurna, melakukan proses untuk melahirkan
kembali kedua orang tuanya setelah kematian mereka, maka terbalasi
sudah perbuatan yang seimbang sebagaimana saat mereka menghadirkan anak
tersebut dari ketiadaan.
Reinkarnasi tingkat III, adalah seseorang yang telah menguasai “Ilmu
Martabat Tiga” dengan sempurna, sehingga kehidupan dan kematian, (lahir
dan mati) tidak lagi ada perbedaannya. Hidupnya ya… itu matinya, dan
matinyapun ya… itu hidupnya, inilah orang yang telah sampai kepada ilmu
keluhuran yang sejati, ilmu Reinkarnasi yang maha sempurna (hidupnya
telah bersahabat dengan maut), hidupnya berada di dalam maut, dan
mautnyapun berada di dalam hidupnya.
Orang yang telah mencapai maqam ini, saat hari kematiannya, akan
terjadi hal-hal diantaranya seperti berikut ; Jasadnya mengecil
sebagaimana saat ia terlahir dahulu, bahkan kadang keadaannya utuh
kembali sebagai seorang bayi beserta plasentanya yang masih terhubung
dengan sang bayi. Atau sang mayat itu berubah menjadu nur dan lenyap
dihadapan banyak orang, ataupun setelah sampai keliang lahat, sesaat
waktu di adzanin, maka mayatnya menjadi nur dan lenyap, dan yang
tertinggal hanyalah kain kafan yang putih. Ini maqam kemulian, dalam
kalangan para Guru yang Mursyid, maqam ini disebut “Wali Kubur”.
Reinkarnasi tingkat IV, inilah yang disebut “Ilmu Tutup”, karena ia
merupakan penutupnya “Ilmu Martabat Tiga”. Para Guru yang Mursyid yang
telah mendapatkan anugrah ilmu tersebut dari sirullâh yang tersembunyi
di kedalam dirinya sendiri, mereka sangat awas terhadap segala sesuatu
yang terkait dengan kehidupan dan kematian, mereka seakan memiliki
sumber informasi yang tidak di ragukan lagi, mereka menguasai wilayah
kelahiran dan maut dengan cekatan, mereka dapat masuk dan keluar di
wilayah itu dengan sesuka hati. Saat kematian mereka, biasanya terjadi
berbagai gejala alam secara umum maupun bersifat khusus, serta ciri
yang di ketahui tertuju kepada mereka, bahkan mereka telah mengatakan
sebelumnya tentang segala ciri-ciri yang akan datang saat kematian
mereka. Kemudian merekapun wafat dalam pandangan mata manusia umum, di
mandikan, di kafankan, di sembahyangkan, dan di kuburkan. Sesudah dari
itu, sekembali orang-orang dari kubur kerumah ahli mayat tadi, mereka
akan menjumpai yang wafat tadi sedang hidup dan duduk dengan santai di
rumahnya. Kehidupan keduanya ini bisa berlangsung cepat ataupun
tahunan, bahkan sampai puluhan tahun kedepan. Saat mereka akan wafat
lagi, mereka akan berpesan kepada keluarganya untuk pindah kampung yang
lain, hal ini mereka lakukan untuk menghindari fitnah dari masyarakat.
Ternyata setelah kematiannya lagi, di kampung yang baru, keluarganya
akan menemukannya hidup tanpa ada perubahan sedikitpun, dan hal ini
akan berlangsung selamanya (hayyun fid darain), yaitu hidup di dua
negeri.
Hadits Nabi : Wali-wali Allâh itu tidak akan mati, mereka hanya berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain.
Pada Al Qur’an, surat Yunus :
Ingatlah ! sesungguhnya wali-wali Allâh itu tidak ada kekhawatiran atas
mereka dan tidak pernah mereka berduka cita (tidak mati).
Mari kita mencapai keilmuan Reinkarnasi yang sempurna, agar kemanusiaan
tetap berlanjut, dengannya kita akan di lihat sebagai seseorang yang
peduli atas tujuan Tuhan menjadikan kita dimuka bumi ini.
Tuesday, November 8, 2011
Home »
» REINKARNASI DALAM ISLAM ADALAH TAMBANG BERHARGA YANG DILUPAKAN
0 komentar:
Post a Comment