Taat kepada pemerintah dalam
perkara kebaikan. Inilah salah satu
prinsip agama yang kini telah banyak
dilupakan dan ditinggalkan umat.
Yang kini banyak dilakukan justru
berupaya mencari keburukan
pemerintah sebanyak-banyaknya
untuk kemudian disebarkan ke
masyarakat. Akibat buruk dari
ditinggalkannya prinsip ini sudah
banyak kita rasakan. Satu diantaranya
adalah munculnya perpecahan di
kalangan umat Islam saat
menentukan awal Ramadhan atau
Hari Raya.
Bulan suci Ramadhan merupakan
bulan istimewa bagi umat Islam. Hari-
harinya diliputi suasana ibadah;
shaum, shalat tarawih, bacaan Al-
Qur`an, dan sebagainya. Sebuah
fenomena yang tak didapati di bulan-
bulan selainnya. Tak ayal, bila
kedatangannya menjadi dambaan,
dan kepergiannya meninggalkan
kesan yang mendalam. Tak kalah
istimewanya, ternyata bulan suci
Ramadhan juga sebagai salah satu
syi’ar kebersamaan umat Islam.
Secara bersama-sama mereka
melakukan shaum Ramadhan;
dengan menahan diri dari rasa lapar,
dahaga dan dorongan hawa nafsu
sejak terbitnya fajar hingga
terbenamnya matahari, serta mengisi
malam-malamnya dengan shalat
tarawih dan berbagai macam ibadah
lainnya. Tak hanya kita umat Islam di
Indonesia yang merasakannya.
Bahkan seluruh umat Islam di penjuru
dunia pun turut merasakan dan
memilikinya.
Namun syi’ar kebersamaan itu kian
hari semakin pudar, manakala
elemen-elemen umat Islam di banyak
negeri saling berlomba merumuskan
keputusan yang berbeda dalam
menentukan awal dan akhir bulan
Ramadhan.
Keputusan itu terkadang atas nama
ormas, terkadang atas nama parpol,
dan terkadang pula atas nama
pribadi.
Masing-masing mengklaim,
keputusannya yang paling benar.
Tak pelak, shaum Ramadhan yang
merupakan syi’ar kebersamaan itu
(kerap kali) diawali dan diakhiri
dengan fenomena perpecahan di
tubuh umat Islam sendiri. Tentunya,
ini merupakan fenomena
menyedihkan bagi siapa pun yang
mengidamkan persatuan umat.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Mungkin anda akan berkata:
“Itu karena adanya perbedaan
pendapat diantara elemen umat
Islam, apakah awal masuk dan
keluarnya bulan Ramadhan itu
ditentukan oleh ru`yatul hilal (melihat
hilal) ataukah dengan ilmu hisab?”.
Bisa juga anda mengatakan:
“Karena adanya perbedaan pendapat,
apakah di dunia ini hanya berlaku satu
mathla’ (tempat keluarnya hilal)
ataukah masing-masing negeri
mempunyai mathla’ sendiri-sendiri?”
Bila kita mau jujur soal penyebab
pudarnya syi’ar kebersamaan itu,
lepas adanya realita perbedaan
pendapat di atas, utamanya
disebabkan makin tenggelamnya
salah satu prinsip penting agama
Islam dari hati sanubari umat Islam.
Prinsip itu adalah memuliakan dan
menaati penguasa (pemerintah) umat
Islam dalam hal yang ma’ruf
(kebaikan).
Mungkin timbul tanda tanya:
“Apa hubungannya antara ketaatan
terhadap penguasa dengan
pelaksanaan shaum Ramadhan?”
Layak dicatat, hubungan antara
keduanya sangat erat. Hal itu karena:
1. Shaum Ramadhan merupakan
syi’ar kebersamaan umat Islam, dan
suatu kebersamaan umat tidaklah
mungkin terwujud tanpa adanya
ketaatan terhadap penguasa.
2. Penentuan pelaksanaan shaum
Ramadhan merupakan perkara yang
ma’ruf (kebaikan) dan bukan
kemaksiatan. Sehingga menaati
penguasa dalam hal ini termasuk
perkara yang diperintahkan dalam
agama Islam. Terlebih ketika
penentuannya setelah melalui sekian
proses, dari pengerahan tim ru`yatul
hilal di sejumlah titik di negerinya
hingga digelarnya sidang-sidang
istimewa.
3. Realita juga membuktikan, dengan
menaati keputusan penguasa dalam
hal pelaksanaan shaum Ramadhan
dan penentuan hari raya `Idul Fithri,
benar-benar tercipta suasana
persatuan dan kebersamaan umat.
Sebaliknya, ketika umat Islam
berseberangan dengan penguasanya,
perpecahan di tubuh mereka pun
sangat mencolok. Maka dari itu,
menaati penguasa dalam hal ini
termasuk perkara yang diperintahkan
dalam agama Islam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Barangsiapa menaatiku berarti telah
menaati Allah. Barangsiapa
menentangku berarti telah
menentang Allah. Barangsiapa
menaati pemimpin (umat)ku berarti
telah menaatiku, dan barangsiapa
menentang pemimpin (umat)ku
berarti telah menentangku.” (HR. Al-
Bukhari dan Muslim, dari shahabat
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani
berkata: “Di dalam hadits ini terdapat
keterangan tentang kewajiban menaati
para penguasa dalam perkara-perkara
yang bukan kemaksiatan. Adapun
hikmahnya adalah untuk menjaga
persatuan dan kebersamaan (umat
Islam), karena di dalam perpecahan
terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz
13, hal. 120)
Mungkin ada yang bertanya,
“Adakah untaian fatwa dari para
ulama seputar permasalahan ini?”
Maka jawabnya ada, sebagaimana
berikut ini:
Fatwa Para Ulama Seputar Shaum
Ramadhan Bersama Penguasa
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
“Seseorang (hendaknya) bershaum
bersama penguasa dan jamaah
(mayoritas) umat Islam, baik ketika
cuaca cerah ataupun mendung.”
Beliau juga berkata: “Tangan Allah
Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-
Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa, karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juz 25,
hal. 117).
Al-Imam At-Tirmidzi berkata:
“Sebagian ahlul ilmi menafsirkan
hadits ini hadits Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu : “Shaum itu di hari
kalian (umat Islam) bershaum,
(waktu) berbuka adalah pada saat
kalian berbuka, dan (waktu)
berkurban/ Iedul Adha di hari kalian
berkurban.” dengan ucapan (mereka):
`Sesungguhnya shaum dan
berbukanya itu (dilaksanakan)
bersama Al-Jama’ah dan mayoritas
umat Islam’.” (Tuhfatul Ahwadzi juz 2,
hal. 37. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-
Shahihah jilid 2, hal. 443).
Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata:
“Yang jelas, makna hadits ini adalah
bahwasanya perkara-perkara
semacam ini (menentukan
pelaksanaan shaum Ramadhan,
berbuka puasa/Iedul Fithri dan Iedul
Adha, -pen.) keputusannya bukanlah
di tangan individu. Tidak ada hak bagi
mereka untuk melakukannya sendiri-
sendiri. Bahkan permasalahan
semacam ini dikembalikan kepada
penguasa dan mayoritas umat Islam.
Dalam hal ini, setiap individu pun
wajib untuk mengikuti penguasa dan
mayoritas umat Islam. Maka dari itu,
jika ada seseorang yang melihat hilal
(bulan sabit) namun penguasa
menolak persaksiannya, sudah
sepatutnya untuk tidak dianggap
persaksian tersebut dan wajib baginya
untuk mengikuti mayoritas umat Islam
dalam permasalahan itu.” (Hasyiyah
`ala Ibni Majah, lihat Silsilah Al-
Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443).
Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad
Nashiruddin Al-Albani berkata:
“Dan selama belum (terwujud)
bersatunya negeri-negeri Islam di atas
satu mathla’ (dalam menentukan
pelaksanaan shaum Ramadhan, -
pen.), aku berpendapat bahwa setiap
warga negara hendaknya
melaksanakan shaum Ramadhan
bersama negaranya (pemerintahnya)
masing-masing dan tidak bercerai-
berai dalam perkara ini, yakni shaum
bersama pemerintah dan sebagian
lainnya shaum bersama negara lain,
baik mendahului pemerintahnya atau
pun belakangan. Karena yang
demikian itu dapat mempertajam
perselisihan di tengah masyarakat
muslim sendiri. Sebagaimana yang
terjadi di sebagian negara Arab sejak
beberapa tahun yang lalu. Wallahul
Musta’an.” (Tamamul Minnah hal.
398). (Catatan : Beliau merupakan
salah satu ulama yang berpendapat
bahwasanya pelaksanaan shaum
Ramadhan dan Idul Fithri di dunia ini
hanya dengan satu mathla’ saja,
sebagaimana yang beliau rinci dalam
kitab Tamamul Minnah hal. 398.
Walaupun demikian, beliau sangat
getol mengajak umat Islam (saat ini)
untuk melakukan shaum Ramadhan
dan Iedul Fithri bersama
penguasanya, sebagaimana perkataan
beliau di atas).
Beliau rahimahumullah juga berkata:
“Inilah yang sesuai dengan syariat
(Islam) yang toleran, yang diantara
misinya adalah mempersatukan umat
manusia, menyatukan barisan mereka
serta menjauhkan mereka dari segala
pendapat pribadi yang memicu
perpecahan. Syariat ini tidak mengakui
pendapat pribadi meski menurut yang
bersangkutan benar dalam ibadah
yang bersifat kebersamaan seperti;
shaum, Ied, dan shalat berjamaah.
Tidakkah engkau melihat bahwa
sebagian shahabat radhiallahu
‘anhum shalat bermakmum di
belakang shahabat lainnya, padahal
sebagian mereka ada yang
berpendapat bahwa menyentuh
wanita, menyentuh kemaluan, dan
keluarnya darah dari tubuh termasuk
pembatal wudhu, sementara yang
lainnya tidak berpendapat demikian?!
Sebagian mereka ada yang shalat
secara sempurna (4 rakaat) dalam
safar dan diantara mereka pula ada
yang mengqasharnya (2 rakaat).
Namun perbedaan itu tidaklah
menghalangi mereka untuk
melakukan shalat berjamaah di
belakang seorang imam (walaupun
berbeda pendapat dengannya, -pen.)
dan tetap berkeyakinan bahwa shalat
tersebut sah. Hal itu karena adanya
pengetahuan mereka bahwa bercerai-
berai dalam urusan agama lebih
buruk daripada sekedar berbeda
pendapat. Bahkan sebagian mereka
mendahulukan pendapat penguasa
daripada pendapat pribadinya pada
momen berkumpulnya manusia
seperti di Mina. Hal itu semata-mata
untuk menghindari kesudahan buruk
(terjadinya perpecahan) bila dia tetap
mempertahankan pendapatnya.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-
Imam Abu Dawud (1/307),
bahwasanya Khalifah `Utsman bin
`Affan radhiallahu ‘anhu shalat di
Mina 4 rakaat (Zhuhur, `Ashar, dan
Isya’ -pen). Maka shahabat Abdullah
bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu
mengingkarinya seraya berkata: “Aku
telah shalat (di Mina/hari-hari haji, -
pen.) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, Abu Bakr, `Umar dan di
awal pemerintahan `Utsman 2 rakaat,
dan setelah itu `Utsman shalat 4
rakaat. Kemudian terjadilah
perbedaan diantara kalian (sebagian
shalat 4 rakaat dan sebagian lagi 2
rakaat, -pen.), dan harapanku dari 4
rakaat shalat itu yang diterima adalah
yang 2 rakaat darinya.”
Namun ketika di Mina, shahabat
Abdullah bin Mas’ud justru shalat 4
rakaat. Maka dikatakanlah kepada
beliau:
“Engkau telah mengingkari `Utsman
atas shalatnya yang 4 rakaat,
(mengapa) kemudian engkau shalat 4
rakaat pula?!”
Abdullah bin Mas’ud berkata:
“Perselisihan itu jelek.”
Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula
oleh Al-Imam Ahmad (5/155) seperti
riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar
radhiallahu ‘anhu.
Maka dari itu, hendaknya hadits dan
atsar ini benar-benar dijadikan bahan
renungan oleh orang-orang yang
(hobi, -pen.) berpecah-belah dalam
urusan shalat mereka serta tidak mau
bermakmum kepada sebagian imam
masjid, khususnya shalat witir di bulan
Ramadhan dengan dalih beda
madzhab. Demikian pula orang-orang
yang bershaum dan berbuka sendiri,
baik mendahului mayoritas kaum
muslimin atau pun mengakhirkannya
dengan dalih mengerti ilmu falaq,
tanpa peduli harus berseberangan
dengan mayoritas kaum muslimin.
Hendaknya mereka semua mau
merenungkan ilmu yang telah kami
sampaikan ini. Dan semoga ini bisa
menjadi obat bagi kebodohan dan
kesombongan yang ada pada diri
mereka. Dengan harapan agar mereka
selalu dalam satu barisan bersama
saudara-saudara mereka kaum
muslimin, karena tangan Allah
Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-
Jama’ah.” (Silsilah Al-Ahadits Ash-
Shahihah jilid 2, hal. 444-445)
Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin
Baz rahimahullahu pernah ditanya:
“Jika awal masuknya bulan Ramadhan
telah diumumkan di salah satu negeri
Islam semisal kerajaan Saudi Arabia,
namun di negeri kami belum
diumumkan, bagaimanakah
hukumnya? Apakah kami bershaum
bersama kerajaan Saudi Arabia
ataukah bershaum dan berbuka
bersama penduduk negeri kami,
manakala ada pengumuman?
Demikian pula halnya dengan
masuknya Iedul Fithri, apa yang harus
kami lakukan bila terjadi perbedaan
antara negeri kami dengan negeri
yang lainnya? Semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala membalas
engkau dengan kebaikan.”
Beliau menjawab:
“Setiap muslim hendaknya bershaum
dan berbuka bersama (pemerintah)
negerinya masing-masing. Hal itu
berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
“Waktu shaum itu di hari kalian (umat
Islam) bershaum, (waktu) berbuka
adalah pada saat kalian berbuka, dan
(waktu) berkurban/Iedul Adha di hari
kalian berkurban.” Wabillahit taufiq.
(Lihat Fatawa Ramadhan hal. 112)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin rahimahullahu ditanya:
“Umat Islam di luar dunia Islam sering
berselisih dalam menyikapi berbagai
macam permasalahan seperti
(penentuan) masuk dan keluarnya
bulan Ramadhan, serta saling berebut
jabatan di bidang dakwah. Fenomena
ini terjadi setiap tahun. Hanya saja
tingkat ketajamannya berbeda-beda
tiap tahunnya. Penyebab utamanya
adalah minimnya ilmu agama,
mengikuti hawa nafsu dan terkadang
fanatisme madzhab atau partai, tanpa
mempedulikan rambu-rambu syariat
Islam dan bimbingan para ulama
yang kesohor akan ilmu dan wara’-
nya. Maka, adakah sebuah nasehat
yang kiranya bermanfaat dan dapat
mencegah (terjadinya) sekian
kejelekan? Semoga Allah Subhanahu
wa Ta’ala memberikan taufiq dan
penjagaan-Nya kepada engkau.”
Beliau berkata:
“Umat Islam wajib bersatu dan tidak
boleh berpecah-belah dalam
beragama. Sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
“Dia telah mensyariatkan bagi kalian
tentang agama, apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa
yang telah Kami wasiatkan kepadamu,
Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu:’
Tegakkanlah agama dan janganlah
kalian berpecah-belah
tentangnya’.” (Asy-Syura: 13)
“Dan berpegang-teguhlah kalian
semua dengan tali (agama) Allah, dan
janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali
`Imran: 103)
“Dan janganlah kalian seperti orang-
orang yang berpecah-belah dan
berselisih setelah keterangan datang
kepada mereka, dan bagi mereka
adzab yang pedih.” (Ali `Imran: 105)
Sehingga umat Islam wajib untuk
menjadi umat yang satu dan tidak
berpecah-belah dalam beragama.
Hendaknya waktu shaum dan berbuka
mereka satu, dengan mengikuti
keputusan lembaga/departemen yang
menangani urusan umat Islam dan
tidak bercerai-berai (dalam masalah
ini), walaupun harus lebih tertinggal
dari shaum kerajaan Saudi Arabia
atau negeri Islam lainnya.” (Fatawa Fi
Ahkamish Shiyam, hal. 51-52).
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil-
Buhuts Al-`Ilmiyyah wal-Ifta`:
“Dan tidak mengapa bagi penduduk
negeri manapun, jika tidak melihat
hilal (bulan tsabit) di tempat
tinggalnya pada malam ke-30, untuk
mengambil hasil ru`yatul hilal dari
tempat lain di negerinya. Jika umat
Islam di negeri tersebut berbeda
pendapat dalam hal penentuannya,
maka yang harus diikuti adalah
keputusan penguasa di negeri
tersebut bila ia seorang muslim,
karena (dengan mengikuti)
keputusannya akan sirnalah
perbedaan pendapat itu. Dan jika si
penguasa bukan seorang muslim,
maka hendaknya mengikuti
keputusan majelis/departemen pusat
yang membidangi urusan umat Islam
di negeri tersebut. Hal ini semata-
mata untuk menjaga kebersamaan
umat Islam dalam menjalankan
shaum Ramadhan dan shalat Id di
negeri mereka. Wabillahit taufiq,
washallallahu `ala Nabiyyina
Muhammad wa alihi wa shahbihi
wasallam.” Pemberi fatwa: Asy-Syaikh
Abdur Razzaq `Afifi, Asy-Syaikh
Abdullah bin Ghudayyan, dan Asy-
Syaikh Abdullah bin Mani’. (Lihat
Fatawa Ramadhan hal. 117)
Demikianlah beberapa fatwa para
ulama terdahulu dan masa kini
seputar kewajiban bershaum bersama
penguasa dan mayoritas umat Islam
di negerinya. Semoga menjadi pelita
dalam kegelapan dan ibrah bagi
orang-orang yang mendambakan
persatuan umat Islam.
Mungkin masih ada yang mengatakan
bahwasanya kewajiban menaati
penguasa dalam perkara semacam ini
hanya berlaku untuk seorang
penguasa yang adil. Adapun bila
penguasanya dzalim atau seorang
koruptor, tidak wajib taat kepadanya
walaupun dalam perkara-perkara
kebaikan dan bukan kemaksiatan,
termasuk dalam hal penentuan
masuk dan keluarnya bulan
Ramadhan ini.
Satu hal yang perlu digarisbawahi
dalam hal ini, jika umat dihadapkan
pada polemik atau perbedaan
pendapat, prinsip `berpegang teguh
dan merujuk kepada Al-Qur`an dan
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam’ haruslah senantiasa
dikedepankan. Sebagaimana
bimbingan Allah Subhanahu wa Ta’ala
dalam kalam-Nya nan suci:
“Dan berpegang-teguhlah kalian
semua dengan tali (agama) Allah, dan
janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali
`Imran: 103)
Al-Imam Al-Qurthubi berkata:
“Allah Subhanahu wa Ta’ala
mewajibkan kepada kita agar
berpegang teguh dengan Kitab-Nya
(Al-Qur`an) dan Sunnah Nabi-Nya,
serta merujuk kepada keduanya di
saat terjadi perselisihan. Sebagaimana
Dia (juga) memerintahkan kepada kita
agar bersatu di atas Al-Qur`an dan
As-Sunnah baik secara keyakinan atau
pun amalan” (Tafsir Al-Qurthubi,
4/105)
Para pembaca yang mulia, bila anda
telah siap untuk merujuk kepada Al-
Qur`an dan As-Sunnah maka
simaklah bimbingan dari Al-Qur`an
dan As-Sunnah berikut ini: Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil
Amri diantara kalian.” (An-Nisa`: 59)
Al-Imam An-Nawawi berkata:
“Yang dimaksud dengan Ulil Amri
adalah orang-orang yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala wajibkan untuk
ditaati dari kalangan para penguasa
dan pemimpin umat. Inilah pendapat
mayoritas ulama terdahulu dan
sekarang dari kalangan ahli tafsir dan
fiqih serta yang lainnya.” (Syarh
Shahih Muslim, juz 12, hal. 222)
Adapun baginda Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka beliau
seringkali mengingatkan umatnya
seputar permasalahan ini.
Diantaranya dalam hadits-hadits
beliau berikut ini:
1. Shahabat `Adi bin Hatim
radhiallahu ‘anhu berkata:
“Wahai Rasulullah, kami tidak
bertanya kepadamu tentang ketaatan
(terhadap penguasa) yang bertakwa.
Yang kami tanyakan adalah ketaatan
terhadap penguasa yang berbuat
demikian dan demikian (ia sebutkan
kejelekan-kejelekannya).” Maka
Rasulullah bersabda: “Bertakwalah
kalian kepada Allah, dengarlah dan
taatilah (penguasa tersebut).” (HR.
Ibnu Abi `Ashim dalam Kitab As-
Sunnah, dan dishahihkan oleh Asy-
Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah
Fitakhrijis Sunnah, 2/494, no. 1064)
2. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Akan ada sepeninggalku nanti para
imam/penguasa yang mereka itu tidak
berpegang dengan petunjukku dan
tidak mengikuti cara/jalanku. Dan
akan ada diantara para penguasa
tersebut orang-orang yang berhati
setan namun berbadan manusia.”
Hudzaifah berkata: “Apa yang
kuperbuat bila aku mendapatinya?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Hendaknya engkau
mendengar dan menaati penguasa
tersebut walaupun punggungmu
dicambuk dan hartamu dirampas
olehnya, maka dengarkanlah
(perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR.
Muslim dari shahabat Hudzaifah bin
Al-Yaman, 3/1476, no. 1847).
3. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Seburuk-buruk penguasa kalian
adalah yang kalian benci dan mereka
pun membenci kalian, kalian mencaci
mereka dan mereka pun mencaci
kalian.” Lalu dikatakan kepada
Rasulullah: “Wahai Rasulullah,
bolehkah kami memerangi mereka
dengan pedang (memberontak)?”
Beliau bersabda: “Jangan, selama
mereka masih mendirikan shalat di
tengah-tengah kalian. Dan jika kalian
melihat mereka mengerjakan
perbuatan yang tidak kalian sukai,
maka bencilah perbuatannya dan
jangan mencabut/meninggalkan
ketaatan (darinya).” (HR. Muslim, dari
shahabat `Auf bin Malik, 3/1481, no.
1855)
Para ulama kita pun demikian adanya.
Mereka (dengan latar belakang
daerah, pengalaman dan generasi
yang berbeda-beda) telah
menyampaikan arahan dan
bimbingannya yang amat berharga
seputar permasalahan ini,
sebagaimana berikut:
Shahabat Ali bin Abi Thalib
radhiallahu ‘anhu berkata:
“Urusan kaum muslimin tidaklah stabil
tanpa adanya penguasa, yang baik
atau yang jahat sekalipun.”
Orang-orang berkata:
“Wahai Amirul Mukminin, kalau
penguasa yang baik kami bisa
menerimanya, lalu bagaimana dengan
yang jahat?”
Ali bin Abi Thalib berkata:
“Sesungguhnya (walaupun) penguasa
itu jahat namun Allah Subhanahu wa
Ta’ala tetap memerankannya sebagai
pengawas keamanan di jalan-jalan
dan pemimpin dalam jihad” (Syu’abul
Iman, karya Al-Imam Al-Baihaqi juz 13,
hal.187, dinukil dari kitab Mu’amalatul
Hukkam, karya Asy-Syaikh Abdus
Salam bin Barjas hal. 57).
Al-Imam Ibnu Abil `Iz Al-Hanafi
berkata:
“Adapun kewajiban menaati mereka
(penguasa) tetaplah berlaku walaupun
mereka berbuat jahat. Karena tidak
menaati mereka dalam hal yang
ma’ruf akan mengakibatkan kerusakan
yang jauh lebih besar dari apa yang
ada selama ini. Dan di dalam
kesabaran terhadap kejahatan mereka
itu terdapat ampunan dari dosa-dosa
serta (mendatangkan) pahala yang
berlipat.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-
Thahawiyah hal. 368).
Al-Imam Al-Barbahari berkata:
“Ketahuilah bahwa kejahatan
penguasa tidaklah menghapuskan
kewajiban (menaati mereka, -pen.)
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
wajibkan melalui lisan Nabi-Nya.
Kejahatannya akan kembali kepada
dirinya sendiri, sedangkan kebaikan-
kebaikan yang engkau kerjakan
bersamanya akan mendapat pahala
yang sempurna insya Allah. Yakni
kerjakanlah shalat berjamaah, shalat
Jum’at dan jihad bersama mereka,
dan juga berpartisipasilah
bersamanya dalam semua jenis
ketaatan (yang
dipimpinnya).” (Thabaqat Al-
Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’la, 2/36,
dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah,
hal. 14).
Al-Imam Ibnu Baththah Al-Ukbari
berkata:
“Telah sepakat para ulama ahli fiqh,
ilmu, dan ahli ibadah, dan juga dari
kalangan Ubbad (ahli ibadah) dan
Zuhhad (orang-orang zuhud) sejak
generasi pertama umat ini hingga
masa kita ini: bahwa shalat Jum’at,
Idul Fitri dan Idul Adha, hari-hari Mina
dan Arafah, jihad, haji, serta
penyembelihan qurban dilakukan
bersama penguasa, yang baik
ataupun yang jahat.” (Al-Ibanah, hal.
276-281, dinukil dari Qa’idah
Mukhtasharah hal. 16).
Al-Imam Al-Bukhari berkata:
“Aku telah bertemu dengan 1.000
orang lebih dari ulama Hijaz (Makkah
dan Madinah), Kufah, Bashrah,
Wasith, Baghdad, Syam dan Mesir.”
Kemudian beliau berkata: “Aku tidak
melihat adanya perbedaan diantara
mereka tentang perkara berikut ini
beliau lalu menyebutkan sekian
perkara, diantaranya kewajiban
menaati penguasa (dalam hal yang
ma’ruf).” (Syarh Ushulil I’tiqad Al-
Lalika`i, 1/194-197).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani
berkata:
“Di dalam hadits ini (riwayat Al-
Bukhari dan Muslim, dari shahabat
Abu Hurairah di atas,-pen.) terdapat
keterangan tentang kewajiban menaati
para penguasa dalam perkara-perkara
yang bukan kemaksiatan. Adapun
hikmahnya adalah untuk menjaga
persatuan dan kebersamaan (umat
Islam), karena di dalam perpecahan
terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz
13, hal. 120).
Para pembaca yang mulia, dari
bahasan di atas dapatlah diambil
suatu kesimpulan bahwasanya:
1.Shaum Ramadhan merupakan syi’ar
kebersamaan umat Islam yang harus
dipelihara.
2.Syi’ar kebersamaan tersebut akan
pudar manakala umat Islam di
masing-masing negeri bercerai-berai
dalam mengawali dan mengakhiri
shaum Ramadhannya.
3.Ibadah yang bersifat kebersamaan
semacam ini keputusannya berada di
tangan penguasa umat Islam di
masing-masing negeri, bukan di
tangan individu.
4.Shaum Ramadhan bersama
penguasa dan mayoritas umat Islam
merupakan salah satu prinsip agama
Islam yang dapat memperkokoh
persatuan mereka, baik si penguasa
tersebut seorang yang adil ataupun
jahat. Karena kebersamaan umat
tidaklah mungkin terwujud tanpa
adanya ketaatan terhadap penguasa.
Terlebih manakala ketentuannya itu
melalui proses ru`yatul hilal di
sejumlah titik negerinya dan sidang-
sidang istimewa.
5.Realita membuktikan, bahwa
dengan bershaum Ramadhan dan
berhari-raya bersama penguasa (dan
mayoritas umat Islam) benar-benar
tercipta suasana persatuan dan
kebersamaan umat. Sebaliknya ketika
umat Islam berseberangan dengan
penguasanya, suasana perpecahan di
tubuh umat pun demikian mencolok.
Yang demikian ini semakin
menguatkan akan kewajiban
bershaum Ramadhan dan berhari-
raya bersama penguasa (dan
mayoritas umat Islam).
Wallahu a’lam bish-shawab.
(Dikutip dari Dikutip dari majalah Asy
Syariah, Vol.III/No.26/1427 H/2006,
tulisan Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi
Lc, judul asli Shaum Ramadhan dan
Hari Raya Bersama Penguasa, Syi’ar
Kebersamaan Umat Islam.)
Semoga awal puasa dan hari raya
Idul Fitri pada tahun ini bisa
dilakukan secara serentak di tanah
air.
Published with Blogger-droid v2.0.4